11 April 2014

Mencermati Ngawurnya Lembaga-Lembaga Survei

Setelah menyimak hasil quick count pemilihan umum legislatif 2014 ternyata hasil yang diperoleh sangat kontradiktif dengan apa yang dirilis atau diprediksi oleh lembaga-lembaga survei pada saat sebelum pemilu. Pertama, secara bombastis berbagai lembaga survei menyatakan PDIP akan menang dengan perolehan suara sekitar 35 Persen karena Jokowi efek setelah Joko widodo ditetapkan sebagai capres dari PDIP, tapi ternyata hasil yang didapat melalui quick count suara PDIP hanya mencapai 19 Persen lebih. Walau menang, tapi hasil ini sepertinya tidak terlalu menggembirakan bagi kader-kader PDIP karena tidak sesuai ekspektasi Jumlah suara 27 persen.

Kedua, beberapa lembaga survei menyatakan bahwa Jumlah suara partai-partai Islam tidak akan mencapai angka 3,5 persen atau tidak akan lolos Parliamentary Threshold sebagai tiket ke senayan. Hasil survei sebelum pemilu legislatif 9 April dari lembaga survey yang dinilai memiliki kredibilitas menempatkan partai partai Islam pada posisi buncit dengan perolehan suara PKB 3,7 %,
PPP 3,6%, PAN 3,3 %, PKS 2,2 %, PBB 0,7 % (Survey Lingkaran Survei Indonesia dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error 2,9% yang dilakukan Januari 2014). Bahkan sejak Juli 2012 CSIS sudah merilis dengan
hasil sebagai berikut PPP 3,0 %, PKB 2,8 %, PKS 2,2 %, PAN 2,0%.( Survei Juli 2012 dengan confidence level 95% dan Margin of error 2.55%). Begitu juga yang dilakukan Saeful Mujani Research and Consulting
(SMRC) yang dirilis februari 2013 memprediksi PKS terjun bebas dengan perolehan suara 2,7
% (Survei yang dirilis Maret 2013 dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error 3%).
Tapi lagi-lagi hasil survei lembaga-lembaga tersebut ngawur! Partai-partai Islam kecuali mungkin PBB malah mendapat suara cukup bagus di atas 6 Persen.
Nah pertanyaannya ada apa dengan lembaga-lembaga survei tersebut? Apakah mereka salah dalam menerapkan metodelogi atau mereka dibayar untuk menyudutkan agar partai-partai Islam terdegradasi dari Senayan? Jika lembaga-lembaga survei tersebut adalah lembaga bayaran untuk menyudutkan, sungguh sangat terlalu! Mereka layak dipanggil dengan sebutan "pelacur intelektual" karena rela menggadaikan ilmu akademisinya demi kepentingan politik dan keuntungan finansial.

07 April 2014

Saat Wanita Dipercantik Oleh Setan

Di jaman liberal seperti sekarang ini, sudah lazim wanita sangat bebas berkeliaran keluar rumah bahkan di malam hari tanpa didampingi muhrimnya, baik yang masih perawan atau juga yang telah menikah. Efeknya berbagai peristiwa pemerkosaan, seks bebas dan perselingkuhan banyak terjadi dan itu seringkali kita dengar diberbagai macam pemberitaan di negeri ini. Setan memang senang jika ada wanita yang keluar dari rumah, ia akan membuat wanita tersebut menjadi lebih cantik di pandangan laki-laki yang bukan muhrimnya, Rasulullah pernah bersabda dalam hal ini : "Wanita adalah aurat, bila ia keluar rumah maka setan akan mengesankannya amat cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya)." (HR At Tirmizy).

Islam adalah agama yang preventif , agama yang benar-benar melindungi kaum wanita dari hal-hal yang bisa merugikanya, tidak seperti tuduhan kalangan orang-orang liberal dan kaum feminisme yang menyatakan Islam mengekang kebebasan kaum wanita, sungguh tuduhan yang keji dan hanya menampakkan diri sebagai orang yang tidak mau berpikir.

Fenomena Politik Pencitraan Oleh Media

Di era teknologi informasi sekarang ini ada sebuah fenomena dalam dunia politik, yaitu politik pencitraan, mass media adalah sarana yang paling ampuh dalam menciptakan sebuah pencitraan.
Cara- cara yang dilakukanpun kadang terlihat konyol, contohnya, hampir setiap langkah dan tindakan tokoh yang dicitrakan akan selalu diberitakan dari makan sampai menalikan sepatunya, wah bisa-bisa tokoh yang dicitrakan itu masuk toilet untuk buang air pun dijadikan berita hehehe..
tapi bisa jadi pemberitaan konyol seperti itu cukup berpengaruh, maklum sebagian besar masyarakat Indonesia itu kan mudah terpesona dan ujung-ujungnya mudah kecewa juga hehe..

Pemberitaan seperti itu tentu tidak edukatif, karena seharusnya masyarakat yang akan memilih tokoh politik untuk dijadikan pemimpin tersebut diberi pemberitaan tentang visi dan misi tokoh politik tersebut. Nah bila pemberitaan yang sifatnya konyol dan tak banyak artinya itu kerap dilakukan, tentu menjadi tanda tanya, ada apa dengan media? Adakah sebuah rekayasa untuk menggiring opini publik pada calon tertentu? Hal itu mungkin saja terjadi.